JAKARTA, KOMPAS.com – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap bahwa Bawaslu RI seharusnya menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk menindak KPU RI secara hukum karena tidak transparan soal data, berkaitan dengan tahapan Pemilu 2024.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengkritik Bawaslu RI yang dianggapnya hanya berkoar-koar lewat media massa, tanpa mengambil langkah konkret untuk memastikan transparansi data terkait penyelenggaraan pemilu.
Padahal, akibat masalah transparansi ini, Bawaslu RI mengaku kesulitan melakukan pengawasan dan memastikan setiap tahapan yang dilakukan KPU tidak bermasalah.
“Kalau memang merasa punya problem kan seharusnya mereka tinggal panggil KPU. Jadikan tindakan KPU sebagai tindakan pelanggaran pemilu,” ujar Fadli kepada wartawan, Selasa (13/6/2023).
Fadli menegaskan bahwa putusan pelanggaran yang diketuk Bawaslu bersifat final dan mengikat, yang artinya KPU wajib menjalankan putusan tersebut.
Hal ini sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Seandainya KPU tak melaksanakan putusan itu, Bawaslu juga dinilai masih memiliki opsi untuk melaporkan para anggotanya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Kalau tidak dijalankan oleh KPU, Bawaslu bisa membuat pengaduan ke DKPP sebagai pelanggaran etik agar kemudian misalnya ada sanksi peringatan, pemberhentian tetap, atau lainnya,” kata Fadli.
Di sisi lain, Fadli menilai, tidak transparannya KPU merupakan persoalan serius untuk menjadikan penyelenggaraan Pemilu 2024 berintegritas.
Proses check and balance dianggap krusial dan dalam hal ini Bawaslu berperan penting untuk melakukan langkah preventif dan korektif.
“Jangankan publik, institusi negara seperti Bawaslu saja susah untuk melakukan pengawasan atau melihat bagaimana proses verifikasi pencalonan ini dilakukan. Ini memang ada problem serius,” sebut Fadli.
Sebagai catatan, sudah berulang kali Bawaslu menyampaikan kepada publik melalui media massa bahwa mereka menghadapi masalah berarti dalam mengakses data yang dihimpun KPU.
Padahal, dalam Pemilu 2024, KPU menggencarkan penggunaan sistem informasi yang seharusnya bisa menjadi instrumen transparansi data.
Pada tahapan pendaftaran partai politik calon peserta pemilu, Bawaslu mengaku tak bisa mengakses secara penuh Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU sehingga tak bisa leluasa mengawasi proses verifikasi.
Begitu pula saat ini, ketika KPU melangsungkan tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg). KPU hanya memberi waktu 15 menit kepada Bawaslu untuk membaca Sistem Informasi Pencalonan (Silon).
Selebihnya, jika ingin melihat dokumen pendaftaran bacaleg yang dianggap privat, seperti ijazah dan daftar riwayat hidup, pengawas pemilu harus mendatangi lokasi verifikasi KPU namun disebut tak boleh mengambil gambar.
Dalam proses pemutakhiran daftar pemilih, Bawaslu juga berulang kali protes karena mengaku tak mendapatkan data secara detail. Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, mengaku bahwa pengawas hanya diberi data pemilih berbasis RT tanpa nama jalan.
Hal ini menyulitkan Bawaslu yang miskin dari segi personel untuk mengimbangi proses pencocokan dan penelitian (coklit) pemilih di lapangan, memastikan bahwa seluruh warga negara yang memiliki hak pilih bisa memilih, dan tidak terjadi hal sebaliknya.
“Bisa 100 orang kita tidak tahu makhluk dari mana kemudian tiba-tiba ada di DPS. Itu bisa digunakan nanti suaranya,” kata Bagja, kemarin.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perludem Minta Bawaslu Tindak KPU karena Tak Transparan soal Data, Bukan Koar-koar ke Publik “, https://nasional.kompas.com/read/2023/06/13/14073461/perludem-minta-bawaslu-tindak-kpu-karena-tak-transparan-soal-data-bukan-koar.