Penunjukan Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat menuai polemik. Saat ini Andi menjabat sebagai Kepala BIN Sulawesi Tengah dan tercatat sebagai anggota TNI aktif.
Menanggapi hal ini, Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengkritik penunjukan anggota TNI aktif sebagai Pj. Menurut dia, penunjukan tersebut tidak sejalan dengan semangat reformasi yang salah satunya agar TNI-Polri tidak menduduki jabatan sipil.
“Selain itu, seharusnya kedua institusi tersebut adalah institusi yang netral. Dan juga hal ini terjadi karena sampai saat ini pemerintah tidak juga menerbitkan aturan teknis terkait dengan penunjukan penjabat pasca putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Khoirunnisa saat dimintai tanggapan, Selasa (24/5).
Dalam putusan MK nomor 15/PUU-XX/2022, disebutkan bahwa hanya TNI-Polri yang sudah tidak aktif yang bisa menjadi Pj Kepala Daerah.
“Dalam putusan MK disebutkan bahwa prajurit TNI dan Polri mengundurkan diri terlebih dahulu bila dibutuhkan untuk mengisi kebutuhan penjabat melalui proses yang terbuka,” ujarnya.
Namun, saat ini belum ada aturan teknis terkait pengisian Pj. Sehingga tidak ada prosedur yang terbuka dan terukur dalam penunjukan Pj dan menimbulkan kesan penunjukan ini menjadi kewenangan penuh Kemendagri.
Untuk itu, Khoirunnisa mendesak pemerintah untuk segera membuat aturan teknis terkait penunjukan dan pengisian Pj.
“Menurut saya putusan MK harus dibaca secara utuh. Tidak hanya bagian keputusannya saja. Tetapi pertimbangan hukum MK juga perlu dimaknai untuk dijalankan,” jelasnya.
Khoirunnisa juga menyebut penunjukan Andi merupakan keputusan sepihak Kemendagri. Sebab, seharusnya ada pelibatan aspirasi daerah ketika mengusulkan kandidat Pj kepada Kemendagri.
“Dalam putusan MK disebutkan bahwa salah satu pertimbangan dalam menunjuk penjabat adalah dengan memperhatikan aspirasi daerah. DPRD sebagai representasi masyarakat di daerah tentu perlu dilibatkan,” ungkapnya.
“Iya [menjadi keputusan sepihak Kemendagri]. Karena publik tidak tahu prosedurnya seperti apa dan apa yang menjadi dasar penunjukan penjabat tersebut. Beberapa waktu lalu bahkan ada yang belum bisa dilantik penjabatnya karena merasa tidak mendengar aspirasi daerah,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut MK memperbolehkan anggota TNI aktif menjadi Pj kepala daerah jika sudah bertugas di luar institusi asal, seperti yang terjadi pada Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin yang tengah bertugas di BIN.
“Menurut putusan MK anggota TNI/POLRI yang tidak aktif secara fungsional di institusi induknya tapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain itu bisa menjadi Penjabat Kepala Daerah. Misalnya mereka yang bekerja di BNPT, KemenkoPolhukam, Kemenkum-HAM, BIN, Setmil, Lemhanas, dan lain-lain. Aturan dan putusan MK mengatur begitu. Brigjen Chandra itu sudah lama dipekerjakan di BIN,” ucap Mahfud.
Berikut pertimbangan putusan MK nomor 15/PUU-XX/2022:
“Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014].
Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian” dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014].
Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.”
Artikel ini telah tayang di Detik.com dengan judul “Perludem Kritik Penunjukan Anggota TNI Aktif Menjadi Pj Kepala Daerah”, https://kumparan.com/kumparannews/perludem-kritik-penunjukan-anggota-tni-aktif-menjadi-pj-kepala-daerah-1y8S5hFtQaS/full