TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Para elite politik perlu memikirkan perilaku dan etika politik menyikapi hasil pemilihan umum baik Pileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden).
Sikap mereka sangat berpengaruh sebagai contoh bagi para pendukung di akar rumput.
“Tunjukkanlah para elite ini perilaku dan etika politik yng menjunjung tinggi hukum,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini saat diskusi bertajuk ‘Pemilu 2019: Jurdil dan Manusiawikah?’, di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Menurutnya, semua kekhawatiran harusnya bisa disikapi dengan logis oleh para elite.
Misalnya mengenai kecurangan. Titi menyebut ada mekanisme yang sudah diatur di Undang-undang untuk menyatakan keberatan.
Tak perlu, kata dia, mencederai demokrasi dengan sikap merasa paling benar, lalu menghakimi.
Apalagi menghadirkan upaya delegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan tudingan miring soal penyelenggaraan pemilu.
“Kalau memang ada kekhawatiran prosesnya enggak berjalan dengan baik, saya kira ayo kita kawal bersama, saya kira masyarakat sipil, media dan semua pihak akan betul-betul mengawal,” ujarnya.
Ia melihat memang kompetisi pemilu akan menyisakan pihak yang kalah.
Namun semangat pesta demokrasi tak bisa mengedepankan ego pribadi.
Maka pihak yang tak puas pada hasil pemilihan sebaiknya mengedepankan langkah-langkah konstitusional.
Pasalnya, pihak yang merasa hasil penetapan KPU tak sejalan, disediakan jalur untuk mengungkapkan keberatan.
Ada Penegakkan Hukum Terpadu atau Gakkumdu di daerah, sampai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai jalan terakhir.
“Silakan mereka menempuh upaya keberatan terhadal hasil yang ditetapkan KPU secara konstitusi,” pungkas Titi.