• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:2 mins read

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi sengketa tumpang tindih dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Permasalahan tersebut disebabkan lantaran lembaga yudikatif dan penyelenggara pemilu memiliki kebijakan berbeda terhadap kasus pemilu.

“Ini memang jadi evaluasi dan kritik kita pada regulasi dan praktik penyelesaian sengketa pemilu yang melibatkan banyak lembaga,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini usai ditemui dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (14/11/2018).

Sebelumnya, sengketa ini mencuat mengenai syarat pencalonan anggota DPD yang sudah tertuang dalam PKPU nomor 26 tahun 2018. Aturan itu juga telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu pasal 182.

Baik dalam PKPU maupun UU, disebutkan bahwa anggota partai politik dilarang mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Kendati demikian, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi PKPU nomor 26 tahun 2018 sehingga Oesman Sapta Odang (OSO) mampu mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Melihat hal itu, menurut Titi, KPU sebagai lembaga yang mandiri, eksistesinya seolah ditarik oleh lembaga lain yang juga memiliki kewenangan dalam sengketa hukum.

“KPU adalah lembaga yang bersifat mandiri di dalam tata kelola kita. Meskipun ada peran dari lembaga peradilan kita, tetapi jangan sampai mendera KPU di dalam penyelenggaran pemilu yang berkepastian hukum,” paparnya.

Ia mencontohkan, dalam kasus OSO, MA tidak bisa melihat konstruksi secara utuh penyelenggaran pemilu. Jadi, MA terkesan melepaskan diri dari posisi KPU yang melaksanakan keputusan MK.

“Nah, ketika terjadi situasi tumpang tindih, maka KPU harus memilih aturan yang sejalan dengan UU,” imbuh Titi kemudian.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2018/11/14/18281751/perludem-nilai-sengketa-tumpang-tindih-pemilu-rugikan-eksistensi-kpu.