TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai KPU RI berada dalam posisi dilema saat dihadapkan kepada dua putusan berbeda antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
MA dan MK memutuskan dua hal berbeda mengenai pengurus partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI. Keputusan itu dibuat setelah diajukan gugatan oleh Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang.
“Ya, kalau kami berpegangan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 ada dilema yang membuat KPU tidak mudah dalam membuat keputusan,” ujar Titi, ditemui di kantor KPU RI, Rabu (14/11/2018).
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mulai berlaku sejak dibacakan di sidang pembacaan putusan pada 23 Juli 2018.
Namun, MA mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan Oesman Sapta terkait peraturan KPU 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah, dengan nomor registrasi 65 P/HUM/2018, tanggal 25 September 2018 lalu.
“Putusan MK jelas menyebut larangan kepengurusan parpol itu berlaku sejak 2019. Pada konteks berbeda itu dibatalkan MA. Kalau situasi seperti itu KPU masih kuat untuk lebih merujuk putusan MK ketimbang putusan MA, karena konteks hukum berbeda,” kata dia.
Di luar dua putusan itu, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan permohonan gugatan Oesman Sapta Odang di majelis persidangan PTUN Jakarta.
“Tetapi dilema itu mucul ketika lantas keluar putusan kalau memang benar seperti itu putusan PTUN hari ini, yang meminta OSO harus dimasukkan dalam DCT. Dalam konteks itu saya kira PTUN berlaku final dan mengikat sebagai upaya hukum terakhir dalam proses sengketa, ya KPU sebagai pihak yang memang harus melaksanakan putusan PTUN,” tambahnya.