• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:3 mins read

Kompetisi Pilkada Aceh 2017 masih didominasi oleh dua partai lokal (parlok); Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA). Kedua partai tampaknya telah mengupayakan langkah-langkah politik yang elitis untuk memenangkan pasangan calonnya. Misalnya melakukan komunikasi politik demi mendapatkan dukungan partai nasional (parnas). Upaya tersebut merupakan langkah yang patut didukung dan dipertahankan karena menggambarkan perbaikan perilaku politik di Aceh yang lebih elegan. Hanya saja, langkah tersebut juga dibarengi dengan seruan-seruan provokatif dari pendukung kedua belah pihak melalui media sosial. Situasi ini mengakibatkan potensi konflik kekerasan di Pilkada Aceh tidak menurun.

Belajar dari pengalaman pilkada sebelumnya, trend kekerasan dan korban di Pilkada Aceh sebenarnya meningkat serta memusat pada aktor-aktor tertentu. Pascakonflik, Aceh telah melaksanakan dua kali gelombang pilkada; tahun 2006 dan tahun 2012. Pilkada yang pertama cenderung dirasa lebih tenang kendati mencekam. Memang tidak ditemukan data resmi yang dirilis oleh Panwaslu Aceh[1] menyangkut laporan peristiwa kekerasan pada Pilkada 2006. Namun dari catatan berbagai pihak, tingkat kekerasan pada saat itu cukup rendah dengan berbagai alasan. Sedangkan pilkada yang kedua dirasa jauh lebih kasar, dan laporan kekerasan yang diterima Panwaslu Aceh dianggap cukup tinggi, hingga 57 kasus.

Namun angka-angka ini eskalasinya masih lebih rendah dari temuan yang disampaikan oleh LSM maupun NGO pada saat itu. Laporan yang dipublikasikan oleh The Asia Foundation (TAF) menyebutkan bahwa terdapat hanya 11 kasus kekerasan sepanjang Pilkada 2006. Peristiwa kekerasan meningkat sebanyak 167 kasus di Pilkada 2012 (lihat gambar 1). Hanya saja, baik laporan Panwaslu Aceh maupun LSM-NGO tidak merinci para pelaku serta tidak pula meramaikannya di media lokal. Alasan yang disampaikan cukup sederhana, yaitu demi menjaga stabilitas keamanan saat itu.

Sasaran korban kekerasan pun sejatinya beralih. Jika pada Pilkada 2006 sasarannya adalah masyarakat umum atau aktor politik yang berelasi ke parnas, maka pada Pilkada 2012 sasarannya adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan parlok. Contoh; penyerangan rombongan calon kepala daerah Humam Hamid & Hasbi Abdullah (2006); pembunuhan Saiful Husen alias Pon Cagee (2011), mantan kombatan yang merupakan tim sukses calon gubernur Irwandi Yusuf; pembunuhan T. Muhammad alias Cek Gu (2012), yang juga mantan kombatan pendukung calon gubernur Irwandi Yusuf; dll. Ini terjadi karena kompetisi politik semakin mengkristal di antara sesama mantan kombatan yang terpecah ke dua partai; PA dan PNA. Sampai saat ini, kedua kasus masih menggantung di penegak hukum dan Kepolisian Daerah Aceh dianggap melakukan pembiaran.

Oleh karena itu, demi meningkatkan kualitas perpolitikan di Aceh dan menjamin kesuksesan penyelenggaraan pilkada, Perludem mendesak pihak Kepolisian Daerah Aceh agar menindak tegas terhadap segala macam bentuk kekerasan sepanjang pelaksanaan Pilkada Aceh 2017. Polisi harus menghindari langkah-langkah politis dalam menghadapi perilaku politik yang mengancam integritas proses pilkada. Penegakkan hukum adalah solusi terkini untuk mencegah berulangnya kasus kekerasan yang menjatuhkan korban jiwa di pilkada Aceh. Ini juga merupakan cara yang paling tepat untuk mengembalikan citra polisi di masyarakat Aceh.

Jakarta, 4 Agustus 2016

Kholilullah P.

Peneliti Perludem

081360022070