• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:5 mins read

Press Release
“Konsekuensi Pemungutan Suara Ulang: Beban Anggaran dan Cermin Buruk Kinerja Penyelenggara”
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

 

Jakarta, 5 Maret 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP-Kada) 2025 telah memerintahkan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah. Dari jumlah tersebut, 14 daerah harus mengulang pemungutan suara di seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Pilkada pasca-reformasi, menunjukkan semakin banyaknya permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah.

Jumlah PSU yang meningkat tajam dibandingkan Pilkada sebelumnya menegaskan bahwa ada masalah mendasar dalam manajemen pemilu, mulai dari kelalaian administratif hingga kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). MK menemukan berbagai bentuk pelanggaran yang berujung pada keputusan PSU, termasuk intervensi pejabat daerah, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan calon tertentu, serta lemahnya pengawasan dan tindakan tegas dari penyelenggara pemilu.

Salah satu contoh kasus yang menonjol adalah di Kabupaten Mahakam Ulu, di mana MK menemukan bahwa Bupati aktif menggunakan dana daerah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Begitu pula di Kabupaten Serang, MK menilai telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh seorang Menteri yang mendukung istrinya dalam kontestasi Pilkada. Pelanggaran serupa juga terjadi di berbagai daerah lain, sehingga MK tidak punya pilihan selain memerintahkan PSU sebagai bentuk koreksi terhadap proses yang telah berlangsung.

Tak hanya PSU, MK juga menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada pasangan calon di 11 daerah, termasuk di Kabupaten Pasaman, Bengkulu Selatan, dan Gorontalo Utara. Diskualifikasi ini sebagian besar terjadi karena pelanggaran administratif berat, seperti pemanfaatan program bantuan sosial untuk kepentingan elektoral dan penggunaan fasilitas negara yang seharusnya netral.

Konsekuensi dari PSU ini bukan hanya pada aspek politik, tetapi juga berdampak besar terhadap anggaran negara. Pelaksanaan PSU membutuhkan tambahan dana yang signifikan, mencakup pencetakan ulang surat suara, distribusi logistik, biaya operasional petugas pemilu, hingga pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah pelanggaran berulang. Ini adalah pemborosan yang seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal penyelenggara pemilu bekerja lebih profesional dan bertanggung jawab.

Ironisnya, beban keuangan akibat PSU ini lebih banyak ditanggung oleh negara,sementara penyelenggara pemilu yang lalai tidak menanggung konsekuensi yang setimpal. Masyarakat, sebagai pemilih, juga menjadi korban karena harus kembali ke TPS dan menghadapi ketidakpastian politik akibat kelalaian yang seharusnya bisa dicegah. Kepercayaan publik terhadap independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu pun semakin menurun.

Mengingat dampak besar yang ditimbulkan oleh PSU, sudah saatnya penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPU dan Bawaslu perlu dilakukan, termasuk kemungkinan pergantian penyelenggara di daerah yang terbukti gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Jika tidak ada konsekuensi bagi penyelenggara yang lalai, maka permasalahan serupa akan terus berulang di pemilu-pemilu berikutnya.

Lebih jauh, pemerintah dan DPR perlu segera merancang regulasi yang lebih ketat untuk mencegah kelalaian penyelenggara. Misalnya, dengan menetapkan sanksi tegas bagi KPU dan Bawaslu yang terbukti bertanggung jawab atas kesalahan administratif yang berujung pada PSU. Sanksi tersebut bisa berupa pemotongan anggaran operasional atau pencopotan pejabat terkait. Dengan demikian, ada insentif bagi penyelenggara untuk bekerja lebih profesional.

Selain itu, pengawasan terhadap penyelenggara pemilu juga harus diperkuat dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen. Mekanisme pelaporan dan investigasi terhadap dugaan pelanggaran perlu lebih transparan dan responsif. Jika ada indikasi kecurangan atau kelalaian, tindakan korektif harus segera diambil sebelum hari pemungutan suara untuk menghindari PSU yang memboroskan anggaran dan mengganggu stabilitas politik daerah.

Pendidikan politik bagi penyelenggara pemilu dan peserta pilkada juga harus diperkuat. Banyak kasus PSU terjadi karena lemahnya pemahaman terhadap aturan pemilu atau rendahnya komitmen terhadap prinsip demokrasi yang jujur dan adil. Dengan adanya pelatihan intensif dan sanksi yang lebih ketat, diharapkan kualitas penyelenggaraan pemilu dapat meningkat di masa mendatang.

Melihat tren meningkatnya PSU dan diskualifikasi dalam Pilkada 2024, kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa sistem pemilu di Indonesia masih memiliki banyak celah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Jika tidak ada perbaikan serius dalam tata kelola pemilu, maka demokrasi kita akan terus berada dalam ancaman. Oleh karena itu, kami menuntut langkah-langkah berikut untuk memastikan pemilu yang lebih baik ke depan:

Poin Sikap:
1. Pergantian dan Evaluasi Penyelenggara
KPU dan Bawaslu di daerah yang terbukti lalai harus dievaluasi dan jika perlu diganti untuk memastikan pemilu berikutnya lebih profesional dan berintegritas.

2. Pemotongan Anggaran bagi Penyelenggara yang Lalai
KPU dan Bawaslu yang bertanggung jawab atas kelalaian dalam penyelenggaraan pilkada harus menerima sanksi berupa pemotongan anggaran operasional pada periode berikutnya.

3. Regulasi dan Sanksi Tegas terhadap Kelalaian Penyelenggara
Pemerintah dan DPR harus segera menyusun regulasi yang memastikan ada konsekuensi bagi penyelenggara yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

4. Penguatan Pengawasan Independen
Harus ada mekanisme pengawasan yang lebih kuat terhadap kerja KPU dan Bawaslu, termasuk keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya pilkada.

Tren PSU yang meningkat tajam harus menjadi perhatian dan peringatan keras bagi semua pihak bahwa terdapat persoalan serius dalam tata kelola pemilu di Indonesia. Tanpa langkah perbaikan yang konkret, bukan tidak mungkin pemilu-pemilu berikutnya akan mengalami masalah yang lebih parah, semakin membebani anggaran negara, dan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Narahubung:
Heroik M Pratama (+62 87839377707)
Iqbal Kholidin (+62 85155240004)
Haykal (+62 85359096586)