• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:4 mins read

Jakarta – Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, ditariknya RUU Pemilu dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021 membuat pilpres, pileg dan pilkada dipastikan digelar serentak pada 2024. Perludem menyebut penyelenggaraan 3 pemilihan itu secara serentak berisiko.

“Pemerintah dan DPR mendrop RUU Pemilu dari prioritas legislasi 2021 dengan demikian pengaturan pemilu dan pilkada kita masih mendasarkan pada undang-undang yang ada saat ini, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan demikian pada 2024 akan ada pemilu legislatif dan pemilu presiden secara bersamaan serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota pada November 2024,” kata Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Selasa (9/3/2021).

“Pada satu tahun yang sama akan ada dua agenda besar pemilihan yang tahapannya akan beririsan satu sama lain. Jadi tidak ada perubahan jadwal sebagaimana yang sudah direncanakan sebelumnya,” sambungnya.

Titi meyakini akan terjadi kompleksitas teknis dalam pelaksanaan Pemilu 2024 nanti. Dia kemudian menyinggung beban petugas hingga kebingungan pemilih pada saat Pemilu Serentak 2019.

“Dengan dua agenda besar tersebut akan banyak kompleksitas teknis yang dihadapi penyelenggara, pemilih, dan peserta pemilihan kita. Pada 2019 saja rerata beban yang harus ditanggung penyelenggara sangat berat, yang membawa ekses pada kelelahan petugas, yang bahkan berakibat pada kematian sejumlah petugas. Selain pemilu yang kompleks membuat pemilih kebingungan dan membuat meningkatnya suara tidak sah di pemilu legislatif kita. Belum lagi polarisasi yang membelah masyarakat kita akibat capres yang terbatas akibat ambang batas pencalonan yang membuat sulitnya lahir capres-capres alternatif,” kata dia.

Titi sebelumnya berharap revisi UU Pemilu bisa memperbaiki apa yang terjadi pada tahun 2019 lalu. Dia mengatakan persiapan pelaksanaan pemilu harus dilakukan sedini mungkin.

“Harapannya RUU Pemilu bisa memperbaiki kondisi itu dan pembahasannya bisa dilakukan sejak awal, sehingga ada waktu yang cukup untuk melakukan simulasi dan penyiapan berbagai peraturan teknis turunan, sehingga lebih bisa menangkap fenomena dan praktik yang ada di lapangan,” ujarnya.

Titi kemudian menyinggung revisi UU pemilu yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu. Dia menilai revisi itu mepet yang berimbas pada tahapan pemilu yang harus dimulai pada 17 Agustus 2017.

“Kalau dilihat penempatan UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 1 Tahun 2015 dalam daftar panjang prolegnas memperkuat adanya celah yang disisakan untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Hanya saja, tantangan besar hal itu akan sangat mepet dan tergesa-gesa mengakibatkan bisa terganggunya persiapan tahapan dan mempersulit pelaksanaan teknis pemilu dan pilkada oleh jajaran penyelenggara pemilu,” kata dia.

Menurut Titi, revisi UU Pemilu harusnya dilakukan sejak sekarang. Sehingga KPU memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan pelaksanaan pemilu.

“Dan hal itu sangat disayangkan, harusnya revisi UU Pemilu bisa dilakukan sejak ini sehingga ada cukup waktu untuk menyimulasikannya dengan komprehensif,” tutur dia.

Titi menilai dengan tidak adanya revisi UU Pemilu ini, dia menyebut akan menimbulkan tantangan bagi penyelenggara pemilu. Dia juga menyinggung anggota KPU RI yang akan mengakhiri masa jabatan pada 2022 mendatang.

“Maka kalau tidak revisi konsekuensinya akan banyak tantangan teknis elektoral dan politik yang harus diatasi oleh penyelenggara pemilu kita. Apalagi pada April 2022 juga anggota KPU dan Bawaslu akan berakhir masa jabatannya dan akan ada rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu yang baru. Setelahnya juga akan diikuti pergantian anggota Bawaslu dan KPU di daerah. Jadi saat persiapan tahapan juga akan beririsan dengan pergantian personel KPU dan Bawaslu,” jelas dia.

Lebih lanjut, Titi berharap agar pemerintah dan DPR tetap mempertimbangkan untuk dilakukannya revisi UU Pemilu. Dia menyebut perubahan UU Pemilu diperlukan untuk pengaturan dalam pemilu, sehingga memudahkan rakyat dalam memberikan hak suara.

“Harapannya tetap dipertimbangkan untuk dilakukan revisi atas UU Pemilu. Perubahan UU Pemilu diperlukan dalam rangka memberikan pengaturan yang memfasilitasi kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menjamin kemurnian suara pemilih,” kata Titi.

Sebelumnya, DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM telah sepakat mengeluarkan revisi UU atau RUU Pemilu dari daftar Prolegnas 2021. RUU Pemilu rencananya akan digantikan dengan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Pengambilan keputusan tersebut dilakukan saat rapat kerja Baleg DPR RI bersama Menkum HAM Yasonna Laoly di gedung DPR/MPR, Selasa (9/3/2021). Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas dan dihadiri oleh Yasonna Laoly ini memutuskan RUU Pemilu dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2021.

Berdasarkan pandangan fraksi, Supratman mengatakan hanya PKS yang menolak RUU Pemilu dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2021. Sementara fraksi lainnya sepakat agar RUU Pemilu dikeluarkan.

“Dengan demikian, selesailah pandangan minifraksi dan saya rasa tidak perlu kita ambil pengambilan keputusan karena sudah mewakili, saya yakin apa pun yang menjadi kita setuju atau tidak, nanti akan ini kan baru tahap perencanaan,” kata Supratman.

 

Artikel ini telah tayang di Detik.com dengan judul “RUU Pemilu Ditarik dari Prolegnas, Perludem Bicara Risiko Pemilihan Serentak”, https://news.detik.com/berita/d-5487731/ruu-pemilu-ditarik-dari-prolegnas-perludem-bicara-risiko-pemilihan-serentak?single=1