• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:3 mins read

TEMPO.CO, Jakarta – Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memaparkan sejumlah kompleksitas yang terjadi jika pemilu dan pilkada dilaksanakan secara serentak pada 2024.

“2024 kita kembali berpemilu 5 kotak, memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten kota. Lalu yang kedua, tanpa perubahan UU Pilkada. Karena juga tidak dikehendaki,” kata Titi dalam diskusi Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Di Indonesia, Kamis, 11 Februari 2021.

Pertama, Titi mengungkapkan bahwa 2024 akan menciptakan irisan tahapan pemilu dan pilkada. Sebab, tahapan pemilu 2024 dimulai 20 bulan sebelum pemungutan suara. Artinya, tahapan Pemilu 2024 dimulai pada Agustus 2022. Adapun tahapan pilkada 2024 akan dimulai setahun sebelumnya, yaitu November 2023.

Sementara dari sisi jadwal, April 2022 akan dilakukan pergantian KPU dan Bawaslu yang seleksinya dimulai Oktober 2021. Pada 2023, mayoritas KPU provinsi juga akan berakhir masa jabatannya. “Dari ilustrasi jadwal bisa membayangkan kompleksitas apa yang dihadapi dari sisi personalia maupun tata kelola teknis pemilunya,” kata dia.

Menurut Titi, kompleksitas pada Pemilu 2019 dan permasalahannya berpotensi terulang pada 2024. Alasannya, kata dia, karena regulasinya pada level undang-undang tidak mengalami perubahan.

Selain itu, pemilu dan Pilkada 2024 juga memperlemah tingkat identifikasi partai politik. Biasanya, korelasi antara pemilih dan partainya itu intensitasnya meningkat ketika ada agenda elektoral. “Kalau agenda elektoralnya dalam 5 tahun hanya dalam 1 tahun saja aktivitas aktif, maka parpol dan warga semakin jauh dari interaksi satu sama lain,” ujarnya.

Dampak lainnya juga memperlemah keterlibatan partisipatoris warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian pemilih akan kebingungan karena terlalu banyak aktor politik berkontestasi. Kebingungan itu juga akan mengakibakan tingginya suara yang tidak sah.

Baca juga: Menurut Perludem, Ini Dampak jika Pilkada dan Pemilu Nasional Digelar Serentak 2024

Dampak berikutnya, menguatnya yudisialisasi politik dalam tata kelola pemilu yaitu ditarik masuknya hakim dan pengadilan untuk menyelesaikan persoalan politik. Titi menjelaskan, Mahkamah Konstitusi akan menjadi sandaran perubahan pengaturan pemilu karena banyak orang akan berbondong-bondong untuk melakukan penyesuaian pengaturan.

Selanjutnya, terobosan dan inovasi kepemiluan sepenuhnya mengandalkan KPU dan peraturan KPU. Misalnya, untuk penggunaan teknologi, penyesuaian teknis, pengelolaan pemilu yang lebih memudahkan dan mengurangi beban akan bergantung pada KPU, bukan instrumen hukum di level undang-undang.

“Nanti persis seperti Pilkada 2020, KPU diminta melakukan ini itu tapi KPU menjawab, ‘Kami tidak bisa melampaui apa yang diatur di UU’. Ini akan kita hadapi secara teknis di 2024 kalau UU Pemilu tidak diperbaiki,” kata dia.

Implikasi lainnya adalah penataan jadwal pemilu pasca pemilu 2024 akan sulit dilakukan. Titi menuturkan, jika ingin mengubah siklus kepemiluan, misalnya Pilkada di 2026, konsekuensinya harus memotong masa jabatan dari pejabat yang terpilih di 2024. “Dan itu akan sangat kompleks dan menimbulkan penolakan,” kata Titi.

 

Artikel ini telah tayang di Tempo.co dengan judul “Perludem Paparkan Ruwetnya Pemilu dan Pilkada Jika Digelar 2024”, https://nasional.tempo.co/read/1432047/perludem-paparkan-ruwetnya-pemilu-dan-pilkada-jika-digelar-2024/full&view=ok