Merdeka.com – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan negara-negara yang tetap menggelar Pemilu ketika pandemi Covid-19, melandaikan dahulu jumlah kasus positifnya. Tetapi, ada jua beberapa negara menunda Pemilu karena jumlah kasusnya meningkat.
“Di mayoritas negara yang melakukan Pemilu di masa pandemi, mereka melandaikan dulu pandeminya baru kemudian memutuskan melaksanakan pemilu. Bahkan beberapa negara memutuskan menunda karena angkanya naik, padahal naiknya tidak banyak,” ujarnya dalam diskusi, Sabtu (3/10).
Titi menyebut beberapa negara yang melandaikan kasus Covid-19 sebelum menggelar pandemi adalah, Korea Selatan, Mongolia, Sri Lanka, dan Singapura. Negara ini meyakinkan masyarakatnya bahwa memiliki kapasitas dalam menjalankan Pemilu, serta memiliki instrumen hukum tegas.
“Mereka sama sekali tidak otak atik pemilu sebagai instrumen menurunkan pandemi tapi mereka turunkan dulu pandeminya, yakinkan masyarakat negara punya kapasitas mengendalikan, menyiapkan instrumen hukum tegas yang ajeg, baru pemilu dijalankan,” kata Titi.
Oleh karena itu, lanjut dia, mengapa Indonesia perlu menunda Pemilu, penyebaran Covid-19 belum juga melandai. Kedua, perlu pemerintah menyiapkan regulasi yang tepat untuk menggelar Pemilu di tengah pandemi.
Bukan seperti sekarang ini, saat ada masalah baru aturannya diubah. Seperti revisi PKPU No.10 Tahun 2020 setelah banyak pelanggaran protokol kesehatan saat masa pendaftaran.
“Jadi fungsinya penundaan itu adalah membuat, menyiapkan segala prasyarat hukum atau dasar hukum yang kuat sehingga ketika dalam praktek pelaksanaannya tidak tiba masa, tiba akal. Maksudnya, ada masalah baru ribut-ribut cari jalan penyelesaiannya. Akal bisa tiba, tapi sepanjang akal pasti ada batasannya,” jelas Titi.
Sementara, PKPU yang mengatur pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi memiliki batasan. PKPU tidak bisa membuat sanksi melampaui kewenangan dalam undang-undang. Pelanggaran protokol kesehatan hanya berupa teguran, pembubaran atau larangan kampanye. Implementasinya harus kolaborasi antara Bawaslu, hingga aparat penegak hukum.
“Sementara di beberapa temuan kami, ada beberapa pihak kepolisian yang menganggap bhwa penegakan hukum itu kalau pilkada ya ranahnya oleh Bawaslu beserta jajaran. UU Pilkada kita itu tidak mengatur instrumen pidana atau sanksi pidana untuk pelanggaran protokol kesehatan,” kata Titi.
Artikel ini telah tayang di Merdeka.com dengan judul “Perludem: Landaikan Pandemi Dulu, Baru Gelar Pilkada”, https://www.merdeka.com/politik/perludem-landaikan-pandemi-dulu-baru-gelar-pilkada.html