Jakarta – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Pilkada sebagai fase rekrutmen politik nasional. Hal itu ditunjukkan dengan adanya wali kota dipromosikan menjadi gubernur hingga menjadi presiden, seperti Joko Widodo (Jokowi).
“Di antara dinamika yang menimbulkan problematika, ternyata Pilkada langsung juga menjadi sarana rekrutmen politik nasional yang presiden kita hari ini pun produk Pilkada langsung dari mulai Pilkada Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan lain sebagainya,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat diskusi ‘Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan’ di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2020).
Titi menyebut, apabila Pilkada DKI tahun 2012 dipilih oleh DPRD, peluang Jokowi untuk menjadi gubernur sangat tipis. Dengan demikian, Pilkada menurut Titi menimbulkan sebuah perbaikan politik.
“Kalau Pak Jokowi dipilih DPRD DKI dari sisi komposisi suara itu sudah pasti tidak terpilih. Jadi ruang untuk perbaikan itu ada tentu ya,” sambungnya.
Meski demikian, Titi mengatakan masih banyak pekerjaan rumah dalam sistem Pilkada di Indonesia. Menurutnya, Pilkada yang demokratis seharusnya mendapatkan pemimpin yang memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Kalau kita bicara pemilu demokratis, itu kalau menurut salah satu pakar politik, Pemilu itu bukan harus rutin atau Pilkada. Tetapi juga hasilnya punya makna bagaimana pemilih bisa memilih terbebas dari kebohongan, bagaimana produk yang dihasilkan dari Pilkada berkontribusi bagi pelayanan publik di daerah. Ini yang menjadi PR yang harus kita selesaikan,” ungkap Titi.
Titi menyebut kepala daerah yang merupakan hasil Pilkada langsung mulai muncul di publik. Namun untuk mewujudkan Pilkada yang demokratis, menurut Titi, setidaknya ada 4 aspek yang harus diperhatikan.
“Role model produk Pilkada itu mulai ada, satu per satu dan mulai muncul begitu. Tetapi memang belum semua. Perbaikan kita menuju Pilkada demokratis kita harus melihat 4 aspek,” katanya.
Poin pertama yang harus diperhatikan menurut Titi adalah hukum yang menjamin pemilihan yang setara dan adil. Dia menegaskan aturan yang melarang politik uang sudah ada, namun pada pelaksanaannya masih terjadi penyimpangan.
“Pertama elektoral rules, rules making-nya. Bagaimana kemudian kerangka hukum bisa berkontribusi dalam menjamin kontestasi setara dan adil. Kita masih punya problem. Kita punya motivasi untuk memperbaiki integritas melalui tadi politik uang, memberi dan menerima sama-sama kena pidana. Tetapi masih ada problem di implementasinya,” ungkap Titi.
Selanjutnya adalah undang-undang harus diterapkan secara konsisten. Serta penegakan hukum yang berkeadilan dan tidak tebang pilih.
“Kedua adalah bagaimana kita memastikan implementasi produk perundang-undangan itu betul-betul dilakukan secara konsisten. Ketiga bagaimana elektoral justice-nya betul-betul memastikan penegakan hukum yang berkeadilan,” ungkapnya.
Titi menuturkan poin terakhir adalah penyelenggaraan Pemilu yang independen dan profesional. Apabila empat poin tersebut terpenuhi, maka akan tercipta Pilkada yang demokratis.
“Terakhir, kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang independen, imparsial, profesional dan modern. Ini menjadi 4 pilar yang harus kita penuhi dalam Pilkada yang demokratis,” pungkasnya.