• Post author:
  • Post category:Siaran Pers
  • Reading time:7 mins read

Press Release

“Implikasi Putusan MK Terhadap Desain Sistem Pemilu Serentak yang Konstitusional”

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Jakarta, 27 Februari 2020

 

Jakarta-Mahkamah Konstitusi telah mengucapkan putusan terhadap pengujian undang-undang yang diajukan oleh Perludem terkait dengan konstitusionalitas pemilu serentak. Di dalam putusan nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah memang menolak pokok petitum yang diminta oleh Perludem: memohonkan agar MK menyatakan pemilu serentak yang konstitusional adalah pemilu serentak nasional, untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD, baru setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota, bersamaan dengan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Mahkamah memang menolak apa yang diminta oleh Perludem. Tetapi, di dalam pertimbangan hukumnya, MK memberikan fondasi dan batasan yang sangat kuat terhadap sistem penyelenggaraan pemilu serentak kedepan. Di dalam memberikan pertimbangan hukum, ada tiga hal yang dijadikan oleh MK untuk mengkonstruksikan putusannya. Pertama, perdebatan dan maksud asli para pengubah UUD NRI 1945 pada saat amandemen UUD NRI 1945 tahun 1999-2002. Kedua, pendekatan penguatan sistem presidensil, di dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, dan ketiga, pendelaman terhadap pertimbangan hukum MK pada putusan tentang pemilu serentak sebelumnya, yakni Putusan No. 14/PUU-XI/2013.

Berdasarkan pertimbangan hukum yang dikonstruksikan oleh MK tersebut, terdapat beberapa hal penting yang menjadi sangat prinsip di dalam sistem penyelenggaraan pemilu serentak Kita kedepan:

Pertama, MK mengatakan bahwa pemilu serentak lima kotak bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Selain itu, poin  Kedua, MK tidak lagi membeda-bedakan rezim pemilihan, utamanya adalah rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah. Hal ini dapat dilihat pada pertimbangan MK di paragraph [3.15.1] halaman 316:

“……bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945.

Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu:

  • Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia;
  • Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia;
  • Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal;
  • Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota;
  • Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang;
  • Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
  • Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat;

Artinya, di dalam menelusuri maksud asli pengubah UUD NRI 1945 pada saat amandemen konstitusi sekitar 20 tahun lalu, terdapat 7 varian pemilihan yang dirumsukan. Di dalam varian-varian tersebut, memang terlihat bahwa pemilu serenyak lima kotak, tidak menjadi satu-satunya pilihan untuk penyelenggaraan pemilu, dan juga tidak ada pembedaan antara rezim pemilu dan pilkada, karena terdapat variable keempat yang menjadikan pemilihan gubernur dan bupati, serta walikota di dalam pemilihan umum di Indonesia. Sepanjang varian pemilihan bermuara kepada penguatan sistem presidensil, pilihan-pilihan waktu penyelenggaraan pemilu sangat mungkin untuk dilakukan.

Ketiga, di dalam putusannya, MK memberikan 6 varian untuk desaian penyelenggaraa pemilu serentak. Di dalam enam varian tersebut, terdapat penegasan bahwa pemilihan umum serentak untuk memilih presiden, DPR, dan DPD adalah sebuah keniscyaan, dan tetap harus dijaga. Adapun enam pilihan tersebut diuraikan oleh MK di dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16], halaman 323-324:

“…Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu:

  1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
  2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  2. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
  3. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;
  4. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;”

Jika melihat model keserentakkan pemilu yang diputuskan oleh MK, salah satunya adalah model penyelenggaraan pemilu serentak yang dimohonkan oleh Perludem. Hal ini dapat dibaca di dalam varian nomor 4:

“Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota”

Keempat, MK memberikan lima pertimbangan kepada pembentuk undang-undang, untuk memutuskan pilihan terhadap desaian keserentakkan pemilu yang diputus oleh MK. Hal ini terlihat di dalam pertimbangan hukum paragraph [3.16], halaman 324:

“…Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu:

  • Pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum;
  • Kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan;
  • Pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;
  • Pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan
  • tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Pemilu yang konstitusional di Indonesia, adalah pemilu yang dilaksanakan secara serentak antara pemilihan eksekutif dengan pemilihan legislatif. Konsepsi keserentakkan yang perintahkan oleh MK untuk dipastikan adalah pemilihan Presiden, DPR, dan DPD mesti dilaksanakan secara serentak;
  2. Pembentuk undang-undang, DPR dan Pemerintah, segera membuka kanal partisipasi masyarakat, dan seluruh kelompok kepentingan seluas-luasnya, untuk memberikan masukan, melakukan simulasi, dan menghitung segala kemungkinan dengan cermat dan hati-hati, sebelum menentukan pilihan model pemilu serentak mana yang akan dipilih untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia kedepan;
  3. Pemohon mengapresiasi Putusan MK, yang telah melatakkan fondasi penting untuk sistem penyelenggaraan pemilu kedepan. Sehingga, perdebatan terhadap apakah pemilu serentak perlu diubah lagi atau tidak, dapat dialihkan kepada pendalaman dan perdebatan yang jauh lebih penting: model pemilu serentak mana yan lebih memberikan penguatan terhadap daulat rakyat, sistem presidensil, dan integritas demokrasi Indonesia kedepan. Tentu saja sebelum menentukan pilihan perlu dilakukan pencermatan, pengkajian, dan simulasi yang detail dan hat-hati.

 

Kontak Person:

Titi Anggraini
Khoirunnsa Agustyati
Fadli Ramadhanil
Heroik Pratama