JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menilai, usulan mengembalikan Pilkada langsung kembali ke parlemen merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia.
Wacana itu kembali menjadi polemik setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai perlu ada evaluasi Pilkada langsung.
“(Usulan) ini jelas logika yang melompat,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (9/11/2019).
Fadli mengatakan, seharusnya pemerintah fokus mengevaluasi masalah tingginya biaya politik Pilkada langsung.
Penyelesaian masalah tersebut bisa diselesaikan dengan pembentukan undang-undang.
Ia menekankan, penyelesaian masalah biaya politik perlu didukung penuh elite politik.
“Bukan secara tiba-tiba langsung mengusulkan pemilihan kembali ke DPRD. Apakah dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD otomatis biaya politik akan menjadi rendah?” kata Fadli.
Respons Kemendagri dan elite politik terhadap wacana dan narasi evaluasi Pilkada langsung harusnya lebih komprehensif. Mereka harus mampu menyentuh pokok masalah.
Menurut Fadli, pemerintah harus betul-betul mengklasifikasikan pokok masalah, termasuk ihwal tingginya biaya politik Pilkada langsung.
“Pada komponen apakah calon kepala daerah mengeluarkan biaya terbesar?” kata dia.
Baca juga: Perludem: Mengubah Sistem Pilkada Tak Selesaikan Persoalan
“Jangan-jangan, pengeluaran uang yang besar dari kepala daerah, justru terkait kegiatan yang harusnya tidak boleh dilakukan di dalam Pilkada. Salah satunya adalah uang yang dikeluarkan untuk mahar politik atau tiket pencalonan,” tambah dia.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan apakah Pilkada langsung masih relevan saat ini.
Hal itu dikatakan Tito saat ditanya persiapan Pilkada oleh wartawan, usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
“Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem poltik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun,” kata Tito seperti dikutip dari Tribunnews.
Sebagai mantan Kapolri, ia tidak heran apabila banyak kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
Hal itu karena besarnya ongkos politik yang dikeluarkan pasangan calon, karena sistem pilkada langsung.
“Banyak manfaatnya yakni partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia,” kata dia.
Tito berpandangan bahwa mudarat pilkada langsung tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, ia menganjurkan adanya riset atau kajian dampak atau manfaat dari pilkada langsung.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Perludem: Langkah Mundur Demokrasi jika Pilkada Kembali ke DPRD”, https://megapolitan.kompas.com/read/2019/11/09/12283411/perludem-langkah-mundur-demokrasi-jika-pilkada-kembali-ke-dprd?page=all#page2.