PERJALANAN DPR periode 2014–2019 saya katakan cukup miris. Tidak hanya dari sisi kinerja, tetapi juga dari sisi integritas maupun sikap menghadapi konstituen, juga publik. Termasuk di dalamnya adalah sistem kepartaian kita yang belum mampu menghasilkan orang-orang yang sesuai harapan masyarakat.
Dari sisi kinerja saja sudah terlihat betapa mirisnya DPR. Selama lima tahun itu ada sekitar 200 RUU yang direncanakan. Tapi, seingat saya, tidak sampai 100 yang menjadi undang-undang. Itu pun cukup banyak di antaranya adalah perjanjian internasional. Karena ada beberapa perjanjian internasional yang kita ratifikasi menjadi undang-undang.
Memang benar bahwa proses pembuatan undang-undang adalah persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR. Tapi perlu diingat, kekuasaan legislasi itu kalau kita cermati di undang-undang adalah fungsi yang melekat di DPR. Dari situ saja seharusnya akselerasi di DPR bisa jauh lebih cepat dalam menghasilkan sebuah produk undang-undang.
Saya coba memberikan contoh salah satu undang-undang yang menjadi concern dari Perludem. Yakni, Undang-Undang Partai Politik. Undang-Undang Partai Politik masuk prolegnas. Namun, hampir tidak pernah disentuh DPR. Sudah banyak sekali elemen masyarakat sipil maupun media massa yang mendorong perbaikan partai politik melalui perubahan undang-undangnya.
Bahkan kami, Perludem, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya sudah menyampaikan kesediaan menemani partai untuk berbenah. Hanya, respons dari partai seperti tidak peduli. Saya mengira, bisa saja sikap itu muncul karena partai merasa terganggu dan tidak mau berbenah. Karena bukan tidak mungkin ada yang merugikan kepentingan mereka dalam jangka pendek. Ini tentu sangat mengecewakan.
Lalu, coba kita bandingkan ketika DPR dengan terburu-buru menyetujui rancangan revisi Undang-Undang KPK untuk menjadi undang-undang. Saya pikir itu sama sekali tidak ada urgensinya. Karena di saat yang sama, ada hal-hal yang jauh lebih besar. Misalnya, menata Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pilkada. Sayangnya, sekali lagi, itu tidak dilakukan.
Pertanyaan besar yang muncul sekarang, DPR ini sebenarnya bekerja untuk apa dan untuk siapa. Ketika ada masyarakat yang ingin membantu DPR merumuskan regulasi yang lebih penting, mereka justru punya agenda sendiri. Agenda yang sebetulnya sangat jauh dari apa yang diminta konstituen.
Dalam urusan legislasi, DPR sudah memiliki agenda yang kita sebut program legislasi nasional atau prolegnas. Itu berlaku lima tahun. Kemudian, setiap tahun ada prolegnas prioritas yang ditargetkan selesai di tahun tersebut. Itulah pedoman DPR dalam melakukan fungsi legislasinya bersama pemerintah. Tinggal bagaimana orientasi DPR, terutama partai politik. Mereka bekerja untuk siapa.
Catatan saya berikutnya adalah integritas. DPR periode 2014–2019 ini menyisakan noda yang sangat memalukan. Masyarakat tentu sudah mengetahui bahwa ada ketua DPR di periode ini yang menjadi terpidana dalam kasus korupsi KTP elektronik. Meskipun, hal itu dia lakukan sebelum menjadi ketua DPR.
Tidak cukup pada pidananya, tapi juga perilakunya yang terkait dengan pidana itu. Mulai ditetapkan sebagai tersangka, dia mengajukan praperadilan sampai dua kali. Kemudian, ada aksi pura-pura sakit. Yang tidak kalah menghebohkan juga ketika dia berpura-pura mobilnya mengalami kecelakaan. Hal-hal itu memberikan pukulan yang amat telak kepada institusi DPR dalam kaitannya dengan kepercayaan publik.
Contoh lainnya yang juga belum lama, ada anggota DPR yang berstatus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan tertangkap tangan menerima suap. Itu juga menjadi salah satu noda hitam integritas bagi DPR periode 2014–2019. Dan seharusnya, noda-noda itu bisa menjadi refleksi penting bagi anggota DPR periode berikutnya yang akan dilantik hari ini.
Apa yang terjadi beberapa hari belakangan sebetulnya adalah titik kulminasi kemarahan publik terhadap elite. Saya tidak mengamini dan membenarkan tindakan kekerasan dan rusuh yang terjadi di beberapa tempat. Namun, ada fakta publik yang turun ke jalan memprotes DPR dengan jumlah massa yang begitu besar, dan itu terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Itu memperlihatkan bahwa ada kekecewaan dan kemarahan yang ingin disampaikan publik kepada elite politik dan penguasa.
Akhirnya, sekecil apa pun itu, kita semua harus membuka ruang harapan perbaikan di periode berikutnya. Harapan tersebut akan dimulai hari ini. Saat para wakil rakyat menyampaikan sumpahnya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun saya sendiri secara pribadi sebenarnya tidak bisa terlalu banyak berharap kepada DPR yang baru ini.
Fadli Ramadhanil Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Artikel ini telah tayang di jawapos.com pada tanggal 1 Oktober 2019, 19:30:10 WIB dengan judul “Hanya Sahkan Separo Target RUU”, https://www.jawapos.com/opini/01/10/2019/hanya-sahkan-separo-target-ruu/