TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengkritik usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang ingin mempersingkat masa kampanye pemilu menjadi satu bulan.
Menurut Fadli, usulan tersebut bukan hal yang mendesak dan tidak akan berdampak signifikan terhadap perbaikan pemilu. “Pembatasan waktu kampanye yang singkat akan tetap percuma jika tak ada konsistensi terhadap penegakkan hukum bagi yang melanggar kampanye,” kata Fadli kepada Tempo, Selasa, 16 Juli 2019.
Fadli menilai, aspek pendidikan politik, perbaikan regulasi, dan komitmen terhadap penegakkan hukumlah yang menjadi tugas mendesak untuk diperbaiki. “Makanya saya lebih setuju konsistensi terhadap penegakkan hukum yang perlu diperbaiki, secara kelembagaan, regulasi, dan komitmen semua pihak,” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya menilai tahapan kampanye perlu dipersingkat. Karena itu, ia akan mengusulkan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait masa kampanye. “Saya usulkan waktu kampanye cukuplah sebulan saja, tak harus delapan bulan. Mungkin lebih efektif, efisien, bisa lebih cepat. Secara teknis nanti KPU yang menyiapkan ini,” kata Tjahjo.
Menurut Tjahjo, usulan tersebut merupakan bentuk evaluasi penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Waktu kampanye yang panjang, kata dia, memperbesar potensi kerawanan keamanan di masyarakat. Sebab, dengan masa kampanye yang panjang, kerap terjadi konflik di masyarakat yang kerap melebar. Konflik bahkan sering kali mengaitkan ke arah ideologi, suku, agama, dan kelompok.
Selain itu, dengan jadwal kampanye yang singkat, Tjahjo Kumolo berharap dampak negatif pemilu dapat teredam. Apalagi, pemilu dilakukan tiap lima tahunan.