TRIBUNNEWSBOGOR.COM — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut, penolakan saksi pasangan calon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga dalam penandatanganan berita acara hasil rekapitulasi suara Pemilihan Umum 2019 yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak mempengaruhi hasil.
Rekapitulasi ini meliputi pemilu presiden dan pemilu legislatif di 34 provinsi dan 130 wilayah luar negeri.
Namun, penolakan penandatanganan itu nantinya bisa dijadikan penguat untuk mengajukan perselisihan hasil rekapitulasi di Mahkamah Konsitusi (MK).
Diberitakan sebelumnya, penolakan penandatanganan berita acara dilakukan sebagai bentuk penolakan BPN terhadap hasil Pilpres 2019.
“Kami, saya Azis Subekti dan Pak Didik Haryanto sebagai saksi dari BPN 02, menyatakan menolak hasil pilpres yang telah diumumkan,” kata Azis seusai pembacaan hasil rekapitulasi dalam rapat pleno yang digelar di KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2019) dini hari, dilansir dari Kompas.com.
Azis Subekti mengatakan, penolakan tersebut sebagai monumen moral bahwa pihaknya tidak pernah menyerah untuk melawan ketidakadilan, melawan kecurangan, hingga melawan kesewenang-wenangan.
Penolakan itu juga dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kebohongan serta tindakan-tindakan yang mencederai demokrasi.
Meski demikian, Azis Subekti tak menyebut secara spesifik tindakan yang ia maksud.
“Terima kasih ketua atas kebijaksanaannya,” kata Azis Subekti kepada Ketua KPU Arief Budiman.
Berita acara hasil rekapitulasi suara pilpres ditandatangani oleh saksi perwakilan paslon 01 Jokowi-Maruf serta Ketua dan Anggota KPU.
Sementara berita acara hasil rekapitulasi suara pileg, selain ditandatangani oleh Ketua dan Anggota KPU, juga ditandatangani oleh PKB, PDI-P, Golkar, Nasdem, Garuda, PPP, PSI, Demokrat, PBB, dan PKPI.
Adapun saksi Gerindra, PKS, PAN, dan Berkarya memutuskan untuk tidak memberikan tanda tangan.
Menanggapi penolakan penandatanganan tersebut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menegaskan kalau hal itu tidak berpengaruh pada hasil rekapitulasi suara.
Sebab, para saksi yang hadir bukan merupakan prasyarat keabsahan rekapitulasi tersebut.
“Saksi itu memang dihadirkan ketika proses rekapitulasi, sama seperti Bawaslu, tetapi dia tidak menjadi prasyarat keabsahan sebuah proses, jadi dia dihadirkan, tapi ketika dia dihadirkan tidak mau hadir atau saat penandatanganan tidak mau menandatangani, maka itu tidak menjadi gangguan terhadap keabsahan proses rekapitulasi,” jelasnya dalam acara Sapa Indonesia Pagi di Kompas Tv, Selasa (21/3/2019).
Meski begitu, kata dia, penolakan tersebut nantinya bisa digunakan untuk mengajukan perselisihan hasil.
“Tetapi semua peristiwa, keberatan, menolak tanda tangan, itu dicatat dalam berita acara. Nah nanti apakah itu kemudian jadi dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat argumen, misalkan ‘ini proses ada masalah makanya tidak tanda tangan’, bisa saja itu digunakan oleh yang tidak mau tanda tangan sebagai penguat untuk mengajukan perselisihan hasil,” bebernya.
Ia pun menegaskan, hasil rekapitulasi itu tetap sah meski tidak ditandatangani salah satu saksi.
“Tapi terhadap proses penetapan hasil itu sendiri tidak bergantung pada mau atau tidak mau menandatangani, jadi itu bukan istilahnya menjadi kewajiban, tapi harus dihadirkan, makanya ada bawaslu, saksi,” tandasnya.
Senada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menagatakan kalau hasil rekapituasi itu tetap sah secara hukum.
Meski, ada salah saksi dari salah satu kubu yang menolak menandatangani hasilnya.
“Sidang terbuka itu hampir sama dengan pleno lainnya, kehadiran saksi lebih kepada akuntabilitas. Jadi secara hukum tetap,” tandasnya.