KOMPAS.com – Pemilu yang diselenggarakan tahun ini memang berbeda, sebab pemilihan presiden dilakukan secara serentak dengan pemilihan legislatif. Sistem ini tentu saja berbeda, dalam arti lebih kompleks dibanding sebelumnya.
Setelah pemungutan suara Pemilu 2019, terjadi polemik mengenai beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang lebih berat dari sebelumnya. Sebab, banyaknya surat suara menyebabkan banyak juga penghitungan hasil pemilu yang dicatat dan memakan waktu lama.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggreini menilai bahwa Pemilu 2019 memang pemilu paling berat bagi petugas pelaksana di lapangan.
“Beban Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara ( KPPS) di luar kapasitas kerja normal seseorang. Itu yang membuat banyak korban berjatuhan,” ujar Titi saat dihubungi Kompas.com pada Senin (22/4/2019).
Hingga Selasa sore, terdapat 90 orang petugas KPPS yang meninggal dunia. Selain itu, ada 374 petugas KPPS yang jatuh sakit.
Banyaknya korban jiwa dalam pemilu juga bisa disebut sebagai beban kerja yang irasional. Ini dikarenakan mereka harus bekerja ekstra keras, sementara kompensasi asuransi kesehatan, kecelakaan kerja, maupun jiwa tidak tersedia.
Tidak borongan
Titi menyampaikan bahwa penggabungan pemilu menjadi masuk akal jika diperhitungkan dengan kapasitas beban yang rasional bagi penyelenggara, dari berbagai instrumen sistem yang terkait.
“Pemilu 2019 bukan pemilu serentak, tapi pemilu borongan (serentak lima surat suara) ala Mahkamah Konstitusi (MK). Dulu gagasannya serentak nasional dan serentak daerah. Bukan borongan,” ujar Titi.
Menurut dia, skema pemilu borongan tidak kompatibel dengan kapasitas beban yang harus ditanggung pihak pemilih, penyelenggara, maupun peserta pemilu.
“Tidak sepadan dengan kemampuan dan daya tahan kerja petugas supaya bisa bekerja efektif dan profesional,” ujar Titi.
Titi juga menyampaikan bahwa sedari awal Perludem mengusulkan bukan pemilu borongan lima surat suara, melainkan pemilu serentak nasional untuk memilih presiden, DPR, dan DPD.
Sementara, untuk pemilu serentak daerah dihelat guna memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota, dengan pemilihan dilangsungkan dengan jarak 2,5 tahun atau 30 bulan sekali.
Menurut Titi, dengan pemilihan yang jarak keberlangsungannya agak lengang, distribusi beban kerja menjadi lebih rasional.
“Parpol dan pemilih juga lebih mudah beradaptasi,” ujar Titi.
Selain itu, teknis pungut hitung harus dibuat lebih sederhana dengan mengurangi berbagai beban pengisian formulir yang terlalu banyak.
“Saya kira rekapitulasi elektronik menjadi sebuah keniscayaan. Selain juga bisa membuat hasil lebih cepat tersaji,” kata dia.
Tak hanya itu, Titi juga mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi rekap elektronik ini perlu dipikirkan segera agar proses penghitungan tidak tergesa-gesa dan bisa diuji coba secara optimal dan menyeluruh.