TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menjelaskan soal kabar yang menyebutkan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019 akan diulang karena Calon Presiden atau Capres inkumben Joko Widodo atau Jokowi tak menang di setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Titi mengatakan pesan berantai tersebut tidak benar. Ia mengatakan sumber pesan tersebut adalah Pasal 159 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. “Pada 2014, kami telah mengajukan gugatan atas pasal ini dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan,” kata Titi saat dihubungi Ahad, 21 April 2019.
Beberapa hari ini beredar pesan berantai yang menyebutkan tiga persyaratan penetapan calon presiden. Tiga persyaratan yang disebut dalam pesan tersebut adalah suara seorang calon presiden harus memperoleh lebih dari 50 persen, memenangkan suara di setengah jumlah provinsi, dan di sisa provinsi lainnya kalah minimal suara 20 persen.
Pesan ini beredar setelah Calon Presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi – Ma’ruf Amin unggul dalam hitung cepat atau quick count lembaga survei. Masalahnya, berdasarkan data per wilayah, Jokowi kalah di sebagian besar provinsi di Indonesia. Di Sumatera, misalnya, sejumlah lembaga survei menyebut Jokowi hanya unggul di Sumatera Utara dan Lampung.
Titi mengatakan saat ini aturan penetapan presiden terpilih mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945. Putusan MK Nomor 52/2014 sudah diakomodir dalam Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019
“Pasal itu berbunyi Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih,” ujar Titi. “Jadi pesan berantai tersebut tidak benar.”
Dalam pembacaan sidang putusan pada 3 Juli 2014, Ketua MK waktu itu Hamdan Zoelva menyampaikan majelis hakim mengabulkan uji materi itu.
“Mengabulkan untuk seluruhnya Pasal 159 ayat (1) bertentangan sepanjang tidak dimaknai dan tidak berlaku untuk hanya terdiri dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan.
MK membatalkan adanya penafsiran perolehan suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi yang ada di Indonesia untuk menentukan pemenang pemilu presiden. Artinya, penetapan pemenang pemilu presiden hanya ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Dalam pendapat MK yang dibacakan hakim konsitusi Muhammad Alim, sebaran suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 159 itu berlaku jika ada lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, jika hanya ada dua pasangan, tidak perlu pemilu dua putaran.
Juru bicara MK, I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 50/2014 tetap berlaku dan harus dijalankan. “Sepanjang MK belum mengubah pendiriannya dan sepanjang penalaran norma undang-undangnya tidak berubah atau diubah oleh pembentuk undang-undang,” ujar Palguna saat dihubungi, Ahad, 21 April 2019.