TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Waktu kampanye Pemilu 2019 sudah berlangsung selama hampir dari tiga bulan mulai dari 23 September lalu.
Namun, sampai saat ini, peserta pemilu tidak memberikan edukasi politik kepada masyarakat.
Peneliti Hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai kampanye hanya sekedar ajang cari sensasi dari peserta pemilu.
“Kampanye paling tidak dua unsur, substansi dan sensasi. Selama dua setengah bulan ini sensasi lebih banyak substansi tidak ada,” ujar Fadli, dalam sesi diskusi di Media Center KPU RI, Rabu (12/12/2018).
Menurut dia, sangat disayangkan apabila ruang publik selama masa kampanye yang dimulai pada 23 September 2018-13 April 2019 hanya dijadikan sebagai ajang mencari sensasi.
Seharusnya, kata dia, peserta pemilu khususnya pasangan calon presiden-calon wakil presiden membicarakan hal yang lebih substansial.
Dia mencontohkan bagaimana ide dari masing-masing paslon mengenai upaya reformasi penegakan hukum termasuk penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Itu belum ada. Hanya ribut soal sensasi. Ribut di kulit di isi tidak ada. Sayang kalau ruang publik hanya diisi sensasi agar menjadi top of mind pemberitaan saja,” kata dia.
Dia mengharapkan supaya peserta pemilu menyampaikan substansi politik.
“Sayang uang negara dihabiskan, tetapi publik tidak mendapatkan informasi untuk memilih. Mulai mengisi ruang publik dengan substansi ide agar kampanye bisa lebih bermanfaat,” tambahnya.