INDOPOS.CO.ID – Kasus hoaks Ratna Sarumpaet merupakan satu contoh dari maraknya hoaks dan ujaran kebencian jelang Pemilu 2019. Tapi regulasi untuk mencegah praktik hoaks itu belum diatur secara rinci dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni mengatakan, praktik hoaks dan ujaran kebencian hanya memanfaatkan sisi emosional masyarakat Indonesia yang sensitif. Maka dari itu, Titi menyebut praktik semacam itu merupakan kejahatan demokrasi karena telah merenggut kedaulatan pemilih dengan menyajikan informasi yang tidak benar.
“Ketika pemilih terpapar informasi bohong, mengandung ujaran kebencian, maka demokrasi yang murni menjadi tidak mungkin kita peroleh,” tegas Titi dalam diskusi yang digelar Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) bertajuk ‘Residu Demokrasi : Hate Speech dan Hoax’ di D’Hotel Jakarta Selatan, Minggu (7/10/2018).
Dalam praktik pencegahan hoaks dalam pemilu, lanjut Titi, UU Pemilu tak bisa menjadi sandaran satu- satunya dalam melakukan penegakan hukum. “Mau tidak mau penegakan hukum harus keluar melampaui proses pemilu karena praktiknya banyak keterbatasan,” tandasnya.
Politikus NasDem Taufik Basari menekankan, dengan keterbatasan regulasi tersebut, para politikus memang harus mengedepankan etika politik. Kata dia, politikus harus melek bahwa setiap langkahnya, tindakan, dan apa yang dilakukannya akan berimplikasi politik.