TEMPO.CO, Jakarta -Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap asal muasal polemic mantan narapidana kasus korupsi yang lolos sebagai calon anggota DPRD bermula dari inkonsistensi partai politik terhadap semangat antikorupsi. Direktur Perludem Titi Anggraini mengatakan, inkosistensi itu memunculkan kerenggangan hubungan antar penyelenggaran pemilu.
“Muaranya ada pada konsistensi partai politik terhadap semangat antikorupsi, dan pakta integritas setiap partai politik terhadap antikorupsi,” kata Titi saat ditemui di Jakarta Selatan, Ahad 9 September 2018.
Sejumlah partai politik telah menyepakati pakta integritas, namun tetap mendaftarkan eks narapidana dalam kasus korupsi ke dalam daftar calon anggota DPRD ke Komisi Pemilihan Umum Daerah. Padahal KPU telah mengeluarkan aturan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks narapidana korupsi, pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan bandar narkoba untuk dicalonkan. KPU telah meminta Bawaslu agar meminta Bawaslu Daerah mengikuti aturan itu. Tapi Bawaslu menolak lantaran itu bertentangan dengan hak asasi manusia.
Jika konsisten, kata Titi, partai politik tak akan memberikan tiket kepada mantan narapidana kasus korupsi maju sebagai calon legislator. Namun, kata dia, partai politik tersebut hanya menggunakan omongan dan pernyataan bahwa bersih dan memiliki semangat antikorupsi sebagai jargon belaka.
Titi berpendapat pakta integritas baik yang dari internal partai politik atau dari Bawaslu hanya formalitas, jika partai politik pada akhirnya mengajukan eks narapidana kasus korupsi.
Titi mempertanyakan dewan pengurus pusat partai yang tak mencoret mereka dari daftar calon yang didaftarkan. “Kalau memang konsisten dengan pakta integritas, seharusnya coret saja caleg mantan napi koruptor,” kata dia.
Mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay bersepakat dengan Titi. Menurut dia, kewenangan mencoret calon legislator dari daftar calon yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum ada pada partai politik yang mangajukannya.
Peneliti Network For Democracy and Electoral Integrity itu menyebutkan sudah ada 34 mantan napi koruptor yang sudah terdaftar sebagai calon anggota DPRD, bahkan menang dalam sengketa PKPU nomor 20 tentang pencalonan anggota DPR,DPD dan DPRD di Bawaslu.
Lima orang diajukan oleh Partai Gerindra. Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional mengajukan empat orang. Partai Hanura, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia serta Partai Berkarya masing-masing mengajukan tiga orang. Partai NasDem, Partai Demokrat, Partai Perindo, serta Partai Garuda masing-masing mengajukan dua orang. Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang masing-masing mengajukan satu orang.
Partai politik yang berintegritas dan memiliki semangat antikorupsi, menurut Hadar, seharusnya mencoret eks narapidana dalam tiga kasus yang dilarang dalam PKPU dari daftar calon yang diajukannya.