Merdeka.com – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, terdapat enam bahaya bila ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu tidak dibatalkan oleh MK.
MK tengah menguji pasal 222 UU Pemilu yang mengatur tentang 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional sebagai ambang batas pengusungan capres dan cawapres di pemilu. Perludem menjadi salah satu penggugat pasal tersebut di MK.
Dia menyebut hal pertama yaitu timbulnya rekrutmen partai politik atau parpol yang sentralis dan tertutup. Sehingga para anggota partai tidak akan tahu menahu mengenai manuver yang dilakukan oleh para elite politik.
“Kedua narasi dalam pemilihan capres dan cawapres makin pragmatis. Bukan lagi bicara visi, misi yang menyatakan koalisi, tapi siapa orientasi figur,” kata Titi di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
Ketiga, kata dia, sistem elektoral yang semakin susah dijangkau oleh perempuan. Padahal banyak ruang yang dimanfaatkan untuk para perempuan.
Lanjut Titi, ambang batas ini juga menyebabkan adanya polarisasi dan pembelahan di masyarakat. Bahkan, dapat mengakibatkan pula adanya penurunan partisipasi politik oleh publik.
“Angka pemilih Pilpres lebih rendah dari Pileg, karena ada yang tidak terwadahi. Saya tidak milih ini dan itu,” ucapnya.
Penyebab selanjutnya, kata Titi, yakni adanya politik transaksional yang tidak berbasis ideologi. “Ini bicara soal Indonesia, soal memastikan kita berdemokrasi yang konstitusional,” jelas Titi.
Sumber: https://www.merdeka.com/politik/perludem-ungkap-6-bahaya-aturan-ambang-batas-capres.html