• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:2 mins read

Jakarta – Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih menjadi permasalahan setiap gelaran pemilu. Dari evaluasi yang dilakukan Perludem, permasalahan DPT sangat krusial dan skalanya lebih besar dibandingkan pilkada serentak tahun 2015 dan 2017.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengatakan, permasalahan DPT terjadi secara terang benderang di H-1 pencoblosan. Contohnya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang terdapat 35.000 pemilih ganda. Permasalahannya, pemilih yang belum perekaman KTP elektronik (e-KTP) di dalam DPT tidak diklasifikasikan pemilih yang sudah memenuhi syarat yang belm punya e-KTP atau pemilih yang belum masuk ke DPT.

“Klasifikasi paling penting. Di 2017 ada pemilih potensial non e-KTP, tapi di Pilkada 2018 pemilih tersebut sudah tidak ada lagi. Ini jadi kebingungan bagi penyelenggara, apakah semua yang belum rekam e-KTP termasuk DPT atau tidak?” ujar Fadli dalam diskusi bertajuk Evaluasi Kritis Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 di Kantor Bawaslu, Selasa (3/7).

Fadli mengatakan, asumsinya apabila seseorang belum mempunyai e-KTP, maka yang bersangkutan belum masuk DPT. “Padahal, tidak seperti itu. Sangat mungkin orang yang sudah ada dalam database kependudukan sudah masuk dalam DPT. Hal itulah, yang terjadi di Pilkada 2017,” jelasnya.

Selain DPT, kata Fadli, persoalan pemilih yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) juga harus menjadi perhatian. Sebab, di pilkada kemarin terdapat 1.500 orang penghuni lapas yang tidak teridentifikasi di Malang, Jawa Timur (Jatim).

“Identifikasi persoalan ini ada problem, ada akses tertutup dari pengelola lapas. Padahal, di awal kami sempat ingatkan kepada KPU dan Bawaslu salah satunya objek yang harus diperhatikan, tapi juga diabaikan adalah hak pilih di lapas,” katanya.

Sumber: http://www.beritasatu.com/politik/499430-evaluasi-pilkada-serentak-2018-perludem-kritisi-masalah-dpt.html