JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, kasus pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat berpotensi menciptakan gonjang-ganjing politik berkepanjangan.
Pasalnya, di tahun politik, MK menjadi institusi yang memiliki kewenangan dan peranan besar dalam menentukan masa depan siapa yang akan menjadi pemimpin, baik Presiden maupun kepala daerah, serta orang-orang yang bakal duduk di Senayan.
Sementara itu, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arief Hidayat telah meruntuhkan kepercayaan publik.
“Orang nanti akan berfikir bagaimana MK akan memutus dengan adil, toh ketuanya saja dan juga salah satu hakim masih saja merasa tidak ada hal yang salah, dengan dua kali melanggar etik,” kata Fadli di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
“Bagaimana mungkin orang bisa berharap dia bisa menyelesaikan PHPU secara fair, secara adil,” lanjutnya.
Fadli memperkirakan, akan semakin banyak sengketa hasil pemilu atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilkada 2018 dan pemilu 2019 yang dibawa ke MK.
Catatan Perludem, ada 147 permohonan sengketa pilkada 2015 dan 47 permohonan sengketa pilkada 2017 yang dibawa ke MK. Potensi PHPU semakin marak, lantaran sejumlah faktor pendorong.
Dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada serentak 2018, sebanyak 17 diantara adalah di tingkat provinsi atau pemilihan gubernur/wakil gubernur. Beberapa diantaranya merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak.
Seperti Jawa Barat salah satunya, jumlah pemilihnya mencapai 40 persen dari jumlah pemilih nasional. Artinya, kata Fadli, pertarungannya akan semakin luar biasa dibandingkan dua pilkada serentak sebelumnya.
“Dengan sangat pentingnya pertarungan politik ini, sangat mungkin ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilihan akan dibawa ke MK,” kata dia.
Berita terkait: Perludem: Hakim Arief tak Mundur, Putusan MK Diragukan
Faktor lain yang mendorong PHPU ke MK yaitu proses pilkada dan tahapan pemilu 2019 yang sudah marak indikasi kecurangan, seperti mahar politik, politik uang, kampanye hoaks dan SARA.
Dengan potensi meningkatnya sengketa pemilu yang dibawa ke MK, Fadli mengatakan, akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada kepercayaan dari publik atas putusan MK. Sementara putusan MK adalah bersifat final dan binding, yang artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah keluarnya putusan tersebut.
“Ini kan soal gonjang-ganjing politik yang bisa berkepanjangan. Dan itu kan mengkhawatirkan transisi elit pemerintahan di daerah, di nasional, di DPR dan sebagainya,” ucap Fadli.
“Kalau kemudian orang tidak percaya terhadap putusan MK dan itu dijadikan alat mobilisasi untuk menimbulkan kegaduhan ini kan sangat mengkhawatirkan,” pungkasnya.