JAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada norma dilanggar dalam penerapan pasal 173 ayat (3) Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut diketahui mengatur verifikasi faktual partai politik peserta Pemilu namun mengecualikan parpol yang sudah memiliki kursi di DPR.
Titi mengatakan, partai yang sudah diverifikasi faktual pada Pemilu 2014 tak bisa serta-merta lolos pada mekanisme yang sama kali ini. Sebab, ketentuan dalam pasal di atas mewajibkan kebaruan syarat.
“Misalnya syarat kepengurusan dan kepemilikan kantor, sampai tahapan merujuk kepada situasi dan kondisi saat ini. Bagaimana mungkin bicara soal tenggat tahapan terakhir Pemilu, tapi merujuk ke pemilu sebelumnya. Karena yang sudah dipenuhi itu (syarat) untuk Pemilu sebelumnya,” kata Titi kepada Okezone, Kamis (26/10/2017).
Berita lainnya: Perludem: Ada Cara yang Lebih Tepat Efisienkan Anggaran Daripada Pangkas Verifikasi Parpol
Selain itu, kejanggalan ketentuan dalam pasal ini juga dapat dilihat dari aspek kependudukan dan kewilayahan. Pada 2014, jumlah provinsi di Indonesia masih 33 dan kini bertambah menjadi 34. Demikian pula dengan jumlah penduduk yang juga bertambah.
“Nah kalau itu kemudian diterapkan, maka ada ketidaksamaan perlakuan. Kan tidak dibolehkan oleh putusan MK No. 52 tahun 2012, tidak boleh ada perbedaan perlakuan,” kata dia.
Karena itulah pasal ini mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan bagi seluruh parpol calon peserta Pemilu 2019.
“Kalau parpol 2014 otomatis menjadi peserta pemilu 2019, berdasarkan keterpenuhan persyaratan, maka mereka ketika ikut verifikasi syaratnya lebih mudah daripada verifikasi 2019. Karena waktu itu provinsi masih 33, jumlah kabupaten/kota masih kurang dari 500. Maka ada perlakuan yang tidak sama antara peserta pemilu 2014 dan peserta Pemilu 2019,” jelas Titi. (erh)