• Post author:
  • Post category:Berita
  • Reading time:1 mins read

JAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, argumen yang mengatakan penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold akan menguatkan sistem pemerintahan presidensil, tidak masuk akal. Sebab, ambang batas didasarkan pada hasil pemilihan legislatif 2014.

“Selalu yang disampaikan oleh pemerintah dan yang pro ambang batas, ini untuk memperkuat presidensialisme, ini logika yang tidak ketemu,” kata Titi dalam diskusi Redbons dengan tema ‘Menggugat Presidential Threshold’ di kantor redaksi Okezone, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Titi melanjutkan, jika tujuannya adalah untuk memperkuat presiden terpilih, maka dasar ambang batas seharusnya hasil pemilihan legislatif 2019 pula. Sedangkan, pemilihan legislatif serta presiden dan wakil presiden dilakukan dalam waktu bersamaan.

“(Jika presidential threshold didasarkan pada Pileg 2014) Itu kan berarti tidak mencerminkan konstelasi dan kekuatan politik real 2019,” kata dia.

Ia mencontohkan, saat Pemilu 2009, suara Partai Demokrat memuncaki daftar dukungan masyarakat kepada partai-partai lain. Namun, lima tahun kemudian saat Pemilu 2014 digelar, suara partai berlambang mercy ini merosot ke urutan keempat. Hal tersebut menurutnya mengunggurkan argumen mengenai penguatan presiden terpilih.

“Akhirnya apakah presidennya kuat? kan (argumen itu) gugur akhirnya,” ujar Titi.

(wal)

Sumber: