Jelang Pilkada Serentak 2017, suasana politik memanas. Publik disuguhi perdebatan antarelit soal eksistensi calon perseorangan. Ada dua kontroversi hangat soal ini. Entah kebetulan atau tidak, dua-duanya di daerah istimewa, DKI Jakarta dan Aceh. Sama-sama punya kecenderungan “mempersulit” calon perseorangan.
Pertama, pencalonan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, petahana Gubernur DKI Jakarta, melalui jalur perseorangan diyakini banyak orang sebagai pemicu beberapa anggota DPR RI mengusulkan naiknya syarat dukungan perseorangan dalam revisi UU Pilkada. Dari semula 6,5-10% menjadi 10-15% dari total jumlah pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir. Padahal syarat saat ini saja termasuk yang paling tinggi di dunia (Pipit R. Kartawidjaja, 2016).
Kedua, usul memperketat teknis pemberian dukungan perseorangan yang diusulkan Badan Legislasi DPR Aceh (Baleg DPRA) melalui revisi Qanun No. 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Di mana syarat pernyataan dukungan harus dibuat secara individu, ditandatangani atau dibubuhi cap jempol, dilengkapi materai, dan mengetahui keuchik (kepala dusus) setempat. Selain itu, daftar nama pendukung ditempelkan di kantor keuchik atau meunasah.
Usulan Baleg DPRA ini lebih berat dibanding pengaturan KPU. KPU mengatur bahwa dokumen dukungan calon perseorangan dibuat secara kolektif per kelurahan/desa dengan disertai materai dan dilampiri fotokopi identitas kependudukan. Cukup satu materai per kelurahan/desa. Jika tidak mau menggunakan formulir KPU, calon boleh memodifikasi dan menggunakan formatnya sendiri dengan mencantumkan informasi yang disyaratkan formulir KPU dimaksud. Seperti yang dilakukan Teman Ahok di DKI Jakarta saat ini.
KPU sempat mengusulkan dalam rancangan perubahan PKPU 9/2015 untuk mewajibkan syarat materai bagi dukungan orang per orang, namun usulan ini akhirnya dibatalkan karena dianggap akan membebani calon dan tidak efisien. Sikap KPU tersebut merupakan refleksi atas esensi hadirnya calon perseorangan di pilkada.
Opini lainnya: Masa Depan Calon Tunggal dan Perseorangan di Pilkada […]
Dari Aceh untuk Indonesia
Aceh memulai terobosan menghadirkan calon perseorangan di Indonesia melalui Pasal 67 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal itu menyebutkan “Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Ayat (1) diajukan oleh: a. partai politik atau gabungan partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal ; c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau d. perseorangan”.
Pengaturan inilah yang pada 2007 mendorong Lalu Ranggalawe, Anggota DPRD Lombok Tengah, NTB, menguji UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat itu jadi dasar hukum penyelenggaraan pilkada. Ranggalawe meminta MK membolehkan calon perseorangan berlaga diseluruh wilayah tanpa kecuali.
Dengan Putusan No. 5/PUU-V/2007, MK mengabulkan permohonan ini. MK membatalkan ketentuan yang menyebut paslon hanya boleh diusung partai politik (parpol). Keran perseoranganpun terbuka, yang diikuti terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 sebagai alas hukum kepesertaan calon perseorangan di seluruh Indonesia.
Dalam pertimbangan hukumnya MK menyebut pemberian kesempatan pada calon perseorangan bukan semata tindakan politik masa transisi. Sekedar untuk menampung eks kombatan GAM yang saat itu pascakesepahaman damai Helsinki 2005 belum memiliki “rumah politik” untuk ikut pilkada. MK beranggapan calon perseorangan bukan suatu perbuatan akibat keadaan darurat ketatanegaraan (staatsnoodrecht) yang terpaksa harus dilakukan. Tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk UU agar pilkada lebih demokratis sesuai mandat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
MK menganggap parpol salah satu saja dari wujud partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Sehingga wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol. Apalagi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan yang diperebutkan secara perseorangan, dalam artian langsung memilih orang dan bukan tanda gambar partai.
Calon perseorangan memang harus dibebani kewajiban yang berkaitan dengan persyaratan jumlah dukungan minimal agar terjadi keseimbangan dengan parpol yang disyaratkan mempunyai jumlah wakil minimal tertentu di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk dapat mengajukan calon. Namun syarat jumlah dukungan perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol dalam mengajukan calon.
Hal itu untuk menghindari ketidakadilan karena kursi di DPRD atau jumlah suara parpol didapat melalui pemilu yang biayanya dibebankan kepada APBN, sedang calon perseorangan mengumpulkan sendiri pernyataan dukungan dari pendukungnya. Terlihat sekali keberpihakan MK pada prosedur pencalonan yang efektif dan efisien (baca murah dan sederhana bagi calon).
Namun demikian, MK juga menekankan syarat dukungan bagi perseorangan tidak boleh demikian ringan sehingga bisa membuka kesempatan orang-orang yang tidak bersungguh-sungguh yang pada gilirannya dapat menurunkan nilai dan citra demokrasi serta bermuara pada turunnya kepercayaan rakyat terhadap pilkada. Perlu dicatat kesungguhan yang dimaksud MK di sini, bukan untuk mempersulit dan memperumit calon perseorangan dalam memperoleh dukungan warga. Toh instrumen rekayasa pemilu lainnya bisa dibuat sebagai alat kontrol
Upaya memperketat teknis pengumpulan syarat dukungan ala Baleg DPRA jelas tidak sama dengan semangat MK yang ingin menjaga mutu demokrasi. MK punya pesan soal kemudahan dalam proses pencalonan perseorangan tanpa mengabaikan kualitas legitimasi dukungan. Calon perseorangan maju dan berkompetisi mengandalkan basis kemampuan individu, bukan struktur dan mesin kepengurusan ala parpol.
Semangat mudah dan murah juga senafas dengan lahirnya pilkada serentak. Gagasan yang juga pertama kali diperkenalkan dari Aceh ketika Pilgub 2006 diselenggarakan berbarengan/serentak dengan pilbup/pilwako di 19 kabupateb/kota se-Aceh. Aceh mengajarkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pilkada, dimana biaya penyelenggaraan bisa dihemat sampai 70% melalui efisiensi honor penyelenggara dan bermacam biaya lainnya. Barulah setelah Aceh, Sumatera Barat juga mengadopsi pola pilkada serentak provinsi dan kabupaten/kota (2010). Hingga akhirnya kini Indonesia juga berada pada fase yang sama.
Opini lainnya: Menanti Konstitusionalitas Calon Tunggal […]
Fokus pada substansi
Banyak inovasi demokrasi berawal dan bermula dari Aceh. Aceh jadi kiblat Indonesia. Belum lagi bicara parpol lokal yang saat ini hendak diadopsi Papua. Bahkan yang paling fundamental, konsep pemilihan kepala daerah secara langsung pun pertama kali diintrodusir oleh Aceh melalui UU No. 18 Tahun 2001jo. Qanun No. 2 Tahun 2004.
Pertanyaannya, apakah Aceh ingin melangkah mundur? Di saat wilayah lain “bergembira” dengan praktik demokrasi lokal yang mencontoh Aceh. Aceh yang telah menorehkan sejarah sebagai satu-satunya provinsi yang sampai hari ini pernah mengantarkan calon gubernur perseorangan memenangkan pilkada (2006).
Baleg DPRA mestinya fokus pada pengaturan substansial yang benar-benar diperlukan melalui revisi Qanun Pilkada. Ada hal yang lebih baik diserahkan pengaturannya pada KPU karena secara teknis dan kemampuan, KPU lebih layak dan tepat mengatur. Ini sesuai semangat UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, bahwa peraturan pelaksanaan pemilu/pilkada sebagai turunan UU yang mengatur pemilu/pilkada diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU.
Menyerahkan teknis pengaturan soal syarat dukungan calon perseorangan kepada Peraturan KPU sama sekali tidak mengurangi keistimewaan dan kekhususan Aceh. Toh Aceh sudah istimewa. Saat daerah lain syarat dukungan perseorangan 6,5-10% dari jumlah DPT, Aceh mengatur 3% dari jumlah penduduk.
Penyerahan pengaturan teknis kepada KPU RI menjamin aturan yang dihasilkan bisa adil bagi semua. KPU bisa menghindari diskursus parsial dan bias kepentingan partisan ala parpol. Juga menghilangkan kecurigaan bahwa parpol di DPRA ingin menjegal calon perseorangan yang akan jadi lawan politik mereka di pilkada nanti.
Aceh telah jadi contoh dan memelopori banyak kemajuan demokrasi Indonesia. Aceh jadi saksi jalan panjang calon perseorangan. Jangan karena “nila setitik” calon perseorangan, rusak marwah istimewa yang selama ini melekat.
Itikad baik dan kedewasaan politik DPR Aceh sangat diperlukan. []
TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Harian Serambi, 25 April 2016
Senin 25-04-2016 07:55:00