(oleh Bestian Nainggolan, pada Harian Kompas, Jumat, 8 Juni 2012, halaman 5)
Tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang tepat bagi masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk. Diperlukan sosok ideal, yaitu profesional yang mampu merengkuh sisi emosional tiap kelompok tanpa menyingkirkan keadilan bagi kelompok lainnya.
Bangunan tugu yang menampilkan patung pria berambut panjang menyandang mandau dan bambu runcing berlilit bendera merah putih itu kini tegak berdiri. Di sekelilingnya dijaga kayu penyangga. Bangunan yang dikenal Tugu Juang itu bukan bangunan baru. Sebagai monumen perjuangan rakyat melawan penjajah, bangunan itu berdiri sejak 1987. Patung pria tersebut sering diidentikkan dengan sosok Apang Semangai, pejuang Dayak asal Nanga Payak.
Tugu itu menjadi persoalan ketika aparat pemerintah daerah membongkarnya beberapa waktu lalu. Protes warga bermunculan. Berbondong-bondong warga datang ke lokasi pembongkaran. Banyak pula yang berasal dari pelosok. ”Tugu itu menyimpan sejarah kami, mengapa harus dibongkar,” keluh Baen (43), warga Nanga Pinoh.
Setelah ada penolakan meluas dan ketegangan, kesepakatan diambil. Dengan prosesi ritual adat, tugu itu pun tegak kembali.
Representasi identitas
Aparat membongkar karena tugu di ruas utama jalan yang padat itu dirasa tidak lagi tepat. Saat itu tengah dilakukan pelebaran jalan utama, dari satu menjadi dua jalur. Tugu di median jalan itu menjadi penghalang. Anehnya, monumen juang lain baru didirikan. Letaknya di tengah bundaran jalan sekitar 2 kilometer dari ruas jalan tugu pertama.
Patung juang setinggi 3 meter itu berdiri di atas replika bukit batu setinggi 5 meter. Monumen yang belum diberi nama itu merupakan upaya bupati menghormati jasa-jasa pejuang kemerdekaan di wilayahnya. Bupati Melawi Firman Muntaco ingin membuatnya seperti bundaran Hotel Indonesia.
Sejak memerintah, Firman yang meraup suara 45,7 persen dengan menyisihkan lima pasang calon lainnya tahun 2010 lalu dikenal gencar membangun.
”Kota ini membangun seperti Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi,” kata Anwar (41), warga Belimbing.
Firman juga tergolong giat menyelenggarakan kegiatan. Terakhir ajang MTQ se-Kalbar (Mei 2012). Ia berupaya mengangkat daerahnya dari ketertinggalan. Hanya saja, terhadap bupati yang dikenal keras dan tegas ini, tidak semua warga menyambutnya. ”Semua serba keinginannya. Lihat saja, kasus patung juang itu,” keluh Jansen (37), warga Nanga Pinoh.
Tidak hanya di Melawi, di Kalbar relasi pemimpin dan warganya kerap kali tergambarkan dalam pergulatan simbolik. Dalam kondisi ini, sekalipun berbeda pangkal persoalannya, ketegangan mudah terjadi. Jika tidak segera dipadamkan, cepat sekali menyulut pertikaian. Mei 2010, misalnya, terjadi ketegangan di Singkawang terkait keberadaan Patung Naga. Upaya Wali Kota Singkawang Hasan Karman menjadikan Patung Naga sebagai ikon kota ditolak sebagian warga. Beruntung persoalan ini teredam, tidak berlanjut pada aksi kekerasan antaretnis.
Keberadaan simbol-simbol yang merepresentasikan identitas masyarakat memang menjadi salah satu kekhasan Kalbar. Penguatan identitas ini menjadi beban karena Kalbar tengah bergumul menghadapi persoalan pelik bagaimana demokrasi memacu kesejahteraan.
Capaian Kalbar yang tinggi dari sisi Indeks Demokrasi belum diikuti pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Kalbar berada pada urutan ke-28 dari 33 provinsi di Indonesia. Komponen pembentuk IPM seperti kekuatan daya beli, angka melek huruf, rata-rata lama pendidikan masyarakat, dan angka harapan hidup penduduk Kalbar di bawah rata-rata nasional. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Kalimantan, Kalbar berada di bawah.
Gaya kepemimpinan
Peliknya kondisi yang dihadapi sebenarnya tidak harus dipandang pesimistis. Kepemimpinan yang hadir dalam sosok dan gaya kepemimpinan yang dipraktikkan dapat jadi bekal menghadapi pilkada gubernur Kalbar, September 2012.
Persoalannya, gaya kepemimpinan seperti apa yang paling cocok bagi Kalbar? Inilah sisi problematik kepemimpinan di Kalbar. Fakta menunjukkan, sejak pilkada langsung bergulir (2005), baik yang terjadi di 13 daerah kabupaten dan kota maupun pilkada Provinsi Kalbar, proses pencarian sosok pemimpin lebih banyak dilekatkan pada latar belakang identitas calon. Periode kedua pilkada langsung di sebagian besar kabupaten di Kalbar pun mengulang hal yang sama, kombinasi etnisitas pasangan kandidat.
Jika dikaji, tidak hanya dalam proses pencarian pasangan ataupun penetapan pasangan kandidat semata. Dalam proses pemilihan suara pun, faktor identitas menjadi pertimbangan utama pemilih. Pesan-pesan kampanye sebagai upaya penarik massa mengobarkan semangat identitas dibandingkan dengan program kerja rasional. Tidak aneh, jika saat kekuasaan berhasil digenggam, pembagian kekuasaan didasarkan latar belakang identitas. ”Politik etnisitas dan kedaerahan seperti ini masih berlaku puluhan tahun ke depan,” ujar Syarif Ibrahim Alqadrie, sosiolog Universitas Tanjungpura.
Apakah pilihan pola ini di Kalbar dapat menjamin percepatan peningkatan kesejahteraan? Belum terbukti kebenarannya. Dalam kondisi keragaman identitas suku, agama, ataupun kelompok ekonomi, siapa pun sepakat, pertimbangan latar belakang identitas bukan jawaban ideal dalam pencarian pemimpin. Kepemimpinan lebih dilekatkan pada kualitas dan gaya kepemimpinannya.
Terkait persoalan ini, secara nasional, hasil survei opini publik kerap kali menampilkan karakter sosok ideal pemimpin. Karakter itu antara lain memiliki ketegasan, tidak lamban, dan fokus pada persoalan utama masyarakat. Karakter sosok semacam ini menjadi lebih ideal dipadukan dengan gaya kepemimpinan yang demokratis.
Bagi masyarakat Kalbar yang tengah bergulat dalam pencapaian kesejahteraannya, gaya kepemimpinan demokratis ini akan lebih efektif jika mampu merengkuh sisi simbolik emosional tiap kelompok. Tentu saja tanpa menyingkirkan keadilan bagi kelompok lainnya.(Litbang Kompas)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/06/08/03004484/pemimpin..simbolik.tak.cukup